Minggu, 26 Desember 2010

Bencana Alam Lumpur Lapindo


 

 “Penetapan semburan lumpur Lapindo di Kabupaten Sidoarjo sebagai bencana oleh Tim Pengawas Penanggulangan Lumpur Sidoarjo DPR akan berimplikasi luas, antara lain pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggungjawab dalam penanggulangan bencana, termasuk soal biaya”
Biasanya yang namanya bencana alam seperti banjir, tanah longsor, gempa bumi, tsunami, angin puting beliung, atau yang sebangsa itu adalah Disaster yang natural. Disaster yang terjadinya karena faktor God will (skenarionya Sang Penguasa Alam). Kalau bencana itu terjadi karena faktor keteledoran manusia, apa iya disebut bencana alam?
“Enak sekali jadi pengusaha Lapindo”, demikian komentar seorang teman. Setelah proyek  pengeboran PT Lapindo Brantas Inc. itu menimbulkan bencana karena keteledoran pengusahanya, lalu berlindung di balik TP2LS DPR. Itu artinya, tinggal gelangang colong playu (lari dari tanggung jawab). Tinggal pemerintah yang mengurusi gelangang-nya. Lha, pemerintah ini kok ya mau-maunya ditinggali gelanggang…. Opo pemerintah wis sugih? (apa pemerintah sudah kaya?).
Sejatinya memang bukan persoalan kaya atau belum kaya, punya uang atau belum punya uang, dalam menyelesaikan masalah bencana lumpur Lapindo. Melainkan lebih kepada tanggungjawab moral dan professional pihak pengusahanya.
Jelas-jelas bencana lumpur itu terjadi sebagai akibat dari keteledoran atau kecerobohan pihak pengusaha dalam memenuhi SOP (Standart Operating Prosedure) dalam proses pengeboran. Hal ini sudah banyak dikaji oleh para ahli yang kompeten di bidangnya dan dipublikasi di berbagai media. Maka siapapun tahu siapa yang seharusnya paling bertanggungjawab atas akibat yang ditimbulkan oleh kegagalan itu.
Kini, masalah menjadi meluber seperti luberannya lumpur Lapindo di Sidoarjo. Bukan lagi menjadi masalah kegagalan teknis yang ditanggungjawabi secara moral dan professional. Melainkan sudah berubah menjadi masalah kegagalan teknis yang ditanggungjawabi secara politis. Dan, sidang paripurna DPR pun menggelar pembahasan ini. Sementara Wapres Jusuf Kalla menegaskan : “Bencana alam atau bukan, itu bukan masalah politis”.
Politisasi bencana lumpur Lapindo barangkali hanya masalah ketok palu di DPR. Tapi “implikasinya sangat luas dan tidak ringan”, kata ahli hukum tata negara UGM, Denny Indrayana. Sebab, bagaimana menyembuhkan cedera rasa keadilan masyarakat Sidoarjo yang menjadi korban lumpurlah yang sebenarnya paling mendesak diberikan solusi. Bagaimana mempersingkat proses tarik-ulur pemenuhan hak-hak para korban bencana, bukan malah ditarik-tarik terus, enggaaak…. selesai-selesai. Merekalah (mereka masyarakat maksudnya, bukan anggota DPR) yang paling merasakan beban penderitaan akibat bencana Lapindo.
Rasa apatis masyarakat terhadap proyek-proyek padat modal dan padat teknologi seharusnya lebih diutamakan untuk secepatnya diantisipasi. Sebab implikasinya bukan tidak mungkin menumbuhkan rasa tidak percaya masyarakat pada umumnya terhadap proyek-proyek semacam Lapindo, ataupun bentuk-bentuk proyek investasi yang lain. Bagaimana agar kelak masyarakat tidak menjadi trauma dalam menyikapi adanya proyek investasi yang sedang digalakkan pemerintah. Jangan-jangan kalau nanti ada masalah, tidak ada penyelesaian yang adil dan malah merepotkan saja.
Bagaimana melihat multiplier effect dari penanganan bencana semacam lumpur Lapindo ini? Mencoba melihat kembali tentang perlunya studi AMDAL bagi setiap proyek investasi (lihat : Keputusan Kepala BAPEDAL No. 8 Tahun 2000 tentang Keterlibatan Masyarakat dan Keterbukaan Informasi Dalam Proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup), maka sosialisasi kepada masyarakat terhadap proyek yang akan dijalankan adalah salah satu tahap awal yang harus dilakukan.
Apa yang sekarang terjadi ketika tahap sosialisasi itu dijalankan? Masyarakat akan bertanya dengan kritis apa yang akan dilakukan oleh perusahaan atau pengusaha jika terjadi bencana “semacam” lumpur Lapindo. Artinya, efek traumatis masyarakat setiap kali ada proyek investasi di daerahnya nampaknya memang sudah tertanam.
Seorang teman bercerita, kecenderungan masyarakat yang skeptis terhadap adanya proyek investasi nampak dari komentar mereka : “lebih banyak mudharatnya dibanding manfaatnya”. Itu karena cara penanganan korban lumpur Lapindo selalu menjadi referensi kekhawatiran mereka. Dan, memulihkan atau membalikkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap adanya proyek investasi bukanlah pekerjaan mudah. Tidak semudah membelokkan urusan moral dan professionalisme menjadi urusan politis.
Maka sebenarnya dapat dipahami kalau masyarakat Sidoarjo muring-muring (marah) lalu menjadi sensitif kalau sudah bicara tentang upaya memperjuangkan hak-hak mereka. Juga harus dipahami kalau masyarakat di tempat lain menjadi trauma terhadap proyek-proyek investasi yang sedang digalang pemerintah. Bukan saja terhadap proyek yang padat modal dan padat teknologi yang bersentuhan langsung dengan alam, melainkan juga proyek di berbagai sektor industri.
Bagaimana pemerintah menyikapi bencana (dan rentetan dampaknya) lumpur Lapindo dengan bijaksana dengan memperhatikan kepentingan hak-hak masyarakat yang menjadi korban, dan bagaimana membangun tingkat kepercayaan masyarakat terhadap proyek-proyek investasi lainnya, kiranya perlu lebih dikedepankan. Agar masyarakat sebagai stakeholder sebuah proyek investasi tidak sekedar menjadi penonton, atau peminta sumbangan ketika perayaan 17-an.
Perusahaan adalah pihak yang paling berkewajban memposisikan masyarakat sebagai stakeholder, dan paling bertanggungjawab menyelesaikan jika terjadi masalah. Bukannya malah tinggal gelanggang colong playu itu tadi. Tinggal gelanggang-nya diurus pemerintah dan masyarakatnya yang menjadi korban.
Apakah bencana lumpur (pengeboran) Lapindo lalu tetap diklaim sebagai bencana alam? Apakah bencana (keteledoran) manusia akan dituduhkan sebagai bencana (“keteledoran”) alam?


Kompas, 19 Februari 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar