Beberapa waktu yang lalu, dua profesor hukum yang terkemuka, Andi Hamzah dan Romli Atmasasmita beradu argumen mengenai tindak pidana korupsi. Satu mengatakan bahwa korupsi adalah kejahatan biasa, sementara yang satunya lagi mengatakan sebagai kejahatan luar biasa. Semua profesor tersebut adalah benar, secara delik, korupsi memang adalah kejahatan biasa.
Sementara itu, dilihat dari akibatnya, korupsi telah menimbulkan kerugian yang luar biasa, terutama perekonomian negara dan kesejahteraan rakyat. Tetapi, apakah perdebatan itu penting dalam upaya pemberantasan korupsi? Tentu saja jawabannya bisa dua-duanya. Menjadi penting ketika hasil perdebatan tersebut dapat menjadikan pemberantasan korupsi lebih efektif. Di sisi lain, ia menjadi sangat tidak penting ketika tidak memberikan solusi apa-apa tentang permasalahan penanganan korupsi.
Memang, penanganan korupsi di Indonesia selama ini telah menjadikan hukum pidana sebagai senjata utama. Sehingga perumusan korupsi sebagai tindak pidana menjadi penting. Begitu pula dengan perangkat-perangkat dan prosedur penegakannya. Tetapi kenyataannya, mekanisme hukum pidana ini telah mempunyai masalahnya sendiri. Baik itu dari rumusan deliknya, maupun penegakannya.
Rumusan korupsi yang ada sekarang ini dapat dikatakan kurang layak untuk disebut sebagai rumusan tindak pidana. Pertama, rumusannya dapat menjangkau ke mana-mana sehingga perbuatan apa pun yang diangggap 'dapat merugikan' keuangan atau perekonomian negara bisa dijerat dengan rumusan korupsi (Lihat: Pasal 2 ayat 1 UU No.31/1999). Selain itu, unsur kerugian keuangan/perekonomian negara sangat tergantung pada interpretasi aparat penegak hukum, dengan demikian sangat subyektif. Rumusan semacam ini bertentangan dengan prinsip yang terkandung dalam asas legalitas, terutama lex certa dan lex scripta.
Meskipun rumusan tersebut belum memadai, tetapi seperti kata pepatah "hukum yang baik akan menjadi buruk jika berada di tangan aparat yang buruk, sebaliknya hukum yang buruk akan menjadi baik jika di tangan orang yang baik". Jadi sebenarnya, kekurangan rumusan korupsi dapat diabaikan jika penanganan korupsi berada di tangan yang baik. Permasalahan penanganan korupsi bukan pada rumusannya, tetapi oleh siapa dan dilakukan dengan cara bagaimana. Seperti ungkapan, "Sapu yang kotor tidak dapat dipakai untuk membersihkan".
Selama ini, pemberantasan korupsi mengandalkan hukum sebagai panglimanya, terutama hukum pidana. Mengandalkan hukum berarti penyelesaiannya bermuara pada pengadilan. Tetapi, kenyataannya pengadilan masih belum bisa menjadi lembaga yang dapat dipercaya. Ia masih ditempatkan sebagai lembaga yang terus dicurigai sebagai tempat berlangsungnya korupsi dalam wujud lainnya, yaitu: mafia peradilan. Penyelesaian korupsi tetap dipaksakan melalui satu-satunya jalur yang tersedia, yaitu: pengadilan, meskipun diketahui betapa bobroknya lembaga tersebut, baik dari proses pemeriksaan awal sampai pemeriksaan di dalam pengadilan.
Permasalahan penanganan korupsi selama ini sebenarnya terletak pada manajemennya. Dengan kata lain, selama ini belum ada manajemen penangan korupsi yang baik. Cerminan tidak adanya manajemen yang baik terlihat nyata ketika penanganan korupsi diserahkan sepenuhnya pada KPK - yang minim sumber daya - meskipun pemberantasan telah menjadi agenda utama pemerintah. Pemerintah tampak lepas tangan dengan kinerja-kinerja KPK dan agenda-agenda pemberantasan korupsi.
Pengadilan - sebagai muara penyelesaian kasus - dibiarkan tetap bobrok tanpa perbaikan yang memadai. Padahal, dalam situasi membangun tegaknya rule of law, seharusnya pengadilan benar-benar dijadikan lembaga yang imun terhadap praktik-praktik korupsi, putusan pengadilan yang layak itulah sebagai salah satu cerminan tegaknya demokrasi, dalam artian tegaknya rule of law. Tapi kenyataannya, sampai hari ini cita-cita menciptakan pengadilan yang bersih masih jauh panggang dari api. Di sisi lain, Mahkamah Agung sibuk membangun bentengnya sendiri, seolah tutup mata terhadap situasi yang terjadi.
Sebaliknya, tampak sangat anti terhadap reformasi untuk menciptakan pengadilan
yang bersih. Kalaupun terjadi reformasi, perbaikan cuma berkutat pada masalah
teknis semata. Sementara itu, watak otoritarianisme warisan orde baru maupun
watak korup masih belum tersentuh.
Dengan demikian, seharusnya perdebatan mengenai pemberantasan korupsi bukan sebatas mengenai perumusan deliknya, apakah dijadikan kejahatan biasa atau kejahatan luar biasa. Tetapi diarahkan juga pada bagaimana manajemen pemberantasan korupsi. Baik itu siapa yang menanganinya, dengan cara apa ditangani, bagaimana mengelolanya, mengendalikan, mengembangkan penanganan dan prosedur penyelesaiannya, serta bagaimana mencapai tujuan penanganan korupsi itu.
Termasuk di situ bagaimana menciptakan pengadilan yang bersih jika hukum tetap dijadikan sebagai panglima pemberantasan korupsi. Sebaik apapun rumusan delik korupsi, jika tidak ada manajemen penanganan korupsi yang baik, maka selama itu pula korupsi tetap tak akan tertangani.
Sementara itu, dilihat dari akibatnya, korupsi telah menimbulkan kerugian yang luar biasa, terutama perekonomian negara dan kesejahteraan rakyat. Tetapi, apakah perdebatan itu penting dalam upaya pemberantasan korupsi? Tentu saja jawabannya bisa dua-duanya. Menjadi penting ketika hasil perdebatan tersebut dapat menjadikan pemberantasan korupsi lebih efektif. Di sisi lain, ia menjadi sangat tidak penting ketika tidak memberikan solusi apa-apa tentang permasalahan penanganan korupsi.
Memang, penanganan korupsi di Indonesia selama ini telah menjadikan hukum pidana sebagai senjata utama. Sehingga perumusan korupsi sebagai tindak pidana menjadi penting. Begitu pula dengan perangkat-perangkat dan prosedur penegakannya. Tetapi kenyataannya, mekanisme hukum pidana ini telah mempunyai masalahnya sendiri. Baik itu dari rumusan deliknya, maupun penegakannya.
Rumusan korupsi yang ada sekarang ini dapat dikatakan kurang layak untuk disebut sebagai rumusan tindak pidana. Pertama, rumusannya dapat menjangkau ke mana-mana sehingga perbuatan apa pun yang diangggap 'dapat merugikan' keuangan atau perekonomian negara bisa dijerat dengan rumusan korupsi (Lihat: Pasal 2 ayat 1 UU No.31/1999). Selain itu, unsur kerugian keuangan/perekonomian negara sangat tergantung pada interpretasi aparat penegak hukum, dengan demikian sangat subyektif. Rumusan semacam ini bertentangan dengan prinsip yang terkandung dalam asas legalitas, terutama lex certa dan lex scripta.
Meskipun rumusan tersebut belum memadai, tetapi seperti kata pepatah "hukum yang baik akan menjadi buruk jika berada di tangan aparat yang buruk, sebaliknya hukum yang buruk akan menjadi baik jika di tangan orang yang baik". Jadi sebenarnya, kekurangan rumusan korupsi dapat diabaikan jika penanganan korupsi berada di tangan yang baik. Permasalahan penanganan korupsi bukan pada rumusannya, tetapi oleh siapa dan dilakukan dengan cara bagaimana. Seperti ungkapan, "Sapu yang kotor tidak dapat dipakai untuk membersihkan".
Selama ini, pemberantasan korupsi mengandalkan hukum sebagai panglimanya, terutama hukum pidana. Mengandalkan hukum berarti penyelesaiannya bermuara pada pengadilan. Tetapi, kenyataannya pengadilan masih belum bisa menjadi lembaga yang dapat dipercaya. Ia masih ditempatkan sebagai lembaga yang terus dicurigai sebagai tempat berlangsungnya korupsi dalam wujud lainnya, yaitu: mafia peradilan. Penyelesaian korupsi tetap dipaksakan melalui satu-satunya jalur yang tersedia, yaitu: pengadilan, meskipun diketahui betapa bobroknya lembaga tersebut, baik dari proses pemeriksaan awal sampai pemeriksaan di dalam pengadilan.
Permasalahan penanganan korupsi selama ini sebenarnya terletak pada manajemennya. Dengan kata lain, selama ini belum ada manajemen penangan korupsi yang baik. Cerminan tidak adanya manajemen yang baik terlihat nyata ketika penanganan korupsi diserahkan sepenuhnya pada KPK - yang minim sumber daya - meskipun pemberantasan telah menjadi agenda utama pemerintah. Pemerintah tampak lepas tangan dengan kinerja-kinerja KPK dan agenda-agenda pemberantasan korupsi.
Pengadilan - sebagai muara penyelesaian kasus - dibiarkan tetap bobrok tanpa perbaikan yang memadai. Padahal, dalam situasi membangun tegaknya rule of law, seharusnya pengadilan benar-benar dijadikan lembaga yang imun terhadap praktik-praktik korupsi, putusan pengadilan yang layak itulah sebagai salah satu cerminan tegaknya demokrasi, dalam artian tegaknya rule of law. Tapi kenyataannya, sampai hari ini cita-cita menciptakan pengadilan yang bersih masih jauh panggang dari api. Di sisi lain, Mahkamah Agung sibuk membangun bentengnya sendiri, seolah tutup mata terhadap situasi yang terjadi.
Sebaliknya, tampak sangat anti terhadap reformasi untuk menciptakan pengadilan
yang bersih. Kalaupun terjadi reformasi, perbaikan cuma berkutat pada masalah
teknis semata. Sementara itu, watak otoritarianisme warisan orde baru maupun
watak korup masih belum tersentuh.
Dengan demikian, seharusnya perdebatan mengenai pemberantasan korupsi bukan sebatas mengenai perumusan deliknya, apakah dijadikan kejahatan biasa atau kejahatan luar biasa. Tetapi diarahkan juga pada bagaimana manajemen pemberantasan korupsi. Baik itu siapa yang menanganinya, dengan cara apa ditangani, bagaimana mengelolanya, mengendalikan, mengembangkan penanganan dan prosedur penyelesaiannya, serta bagaimana mencapai tujuan penanganan korupsi itu.
Termasuk di situ bagaimana menciptakan pengadilan yang bersih jika hukum tetap dijadikan sebagai panglima pemberantasan korupsi. Sebaik apapun rumusan delik korupsi, jika tidak ada manajemen penanganan korupsi yang baik, maka selama itu pula korupsi tetap tak akan tertangani.
Oleh: FAJRIMEI A. GOFAR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar