Jumat, 31 Desember 2010

Rangkuman IBD



BAB 5. MANUSIA DAN KEINDAHAN



KEINDAHAN

          Kata keindahan berasal dari kata indah, artinya bagus, permai, cantik, elok, molek, dan sebagainya. Keindahan adalah identik dengan kebenaran. Keindahan kebenaran dan kebenaran adalah keindahan. Keduanya mempunyai nilai yang sama yaitu abadi, dan mempunyai daya tarik yang selalu bertambah. Yang tidak mengandung kebenaran berarti tidak indah. Karena itu tiruan lukisan Monalisa tidak indah, karena dasarnya tidak benar. Dalam seni, seni berusaha memberikan makna sepenuh-penuhnya mengenai obyek yang diungkapkan. Keindahan juga bersifat universal, artinya tidak terikat oleh selera perseorangan, waktu dan tempat, selera mode, kedaerahan atau lokal.


a. APAKAH KEINDAHAN ITU?

          Keindahan itu suatu konsep abstrak yang tidak dapat dinikmati karene tidak jelas. Keindahan itu baru jelas jika telah dihubungkan dengan sesuatu yang berwujud atau suatu karya. Jadi, sulit bagi kita jika berbicara mengenai keindahan, tetapi jelas bagi kita jika berbicara mengenai sesuatu yang indah. Keindahan hanya sebuah konsep, yang baru berkomunikasi setelah mempunyai bentuk., misalnya lukisan, pemandangan alam, tubuh yang molek, film, nyanyian. Disamping itu terdapat pula perbedaan menurut luasnya pengertian, yakni:
a)     keindahan dalam arti yang luas
b)    keindahan dalam arti estetis mumi
c)     keindahan dalam arti terbatas dalam hubungannya dengan penglihatan
Pengertian keindahan yang seluas-luasnya meliputi:
-         keindahan seni
-         keindahan alam
-         keindahan moral
-         keindahan intelektual
Dari ciri tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa keindahan tersusun dari berbagai keselarasan dan kebaikan dari garis, warna, bentuk, nada dan kata-kata.



b. NILAI ESTETIK

          Dalam rangka teori umum tentang nilai The Liang gie menjelaskan bahwa pengertian keindahan dianggap sebagai salah satu jenis nilai seperti hal nya nilai moral, nilai ekonomik, nilai pendidikan, dan sebagainya. Nilai yang berhubunagn dengan segala sesuatu yang tercakup dalam pengertian keindahan disebut nilai estetik. Tentang nilai itu ada yang membedakan antara nilai subyektif dan nilai obyektif. Tetapi penggolongan yang penting adalah nilai ekstrinsik dan nilai instrinsik. Nilai ekstrinsik adalah sifat baik dari suatu benda sebagai alat atau sarana untuk sesuatu hal lainnya (instrumental/contributory value), yakni nilai yang bersifat sebagai alat atau membantu. Nilai instrinsik adalah sifat baik dari benda yang bersangkutan, atau sebagai suatu tujuan, ataupun demi kepentingan benda itu sendiri.


c. KONTEMPLASI DAN EKSTANSI

          Kontemplasi adalah dasar dalam diri manusia untuk menciptakan sesuatu yang indah. Ekstansi adalah  dasar dalam diri manusia untuk menyatakan, merasakan dan menikmati sesuatu yang indah. Apabila kontemplasi dan ekstansi itu dihubungkan dengan kreativitas, maka kontemplasi itu faktor pendorong untuk menciptakan keindahan, sedangkan ekstansi itu merupakan faktor pendorong untuk merasakan, menikmati keindahan.
          Bagi seorang seniman selera seni lebih dominan dibandingkan dengan orang bukan seniman. Bagi orang bukan seniman mungkin faktor ekstansi lebih menonjol. Jadi, ia lebih suka menikmati karya seni daripada menciptakan karya seni. Dengan kata lain, ia hanya mampu menikmati keindahan tetapi tidak mampu menciptakan keindahan.


 

Senin, 27 Desember 2010

Mengapa Kemiskinan di Indonesia Menjadi Masalah Berkelanjutan?


Sejak awal kemerdekaan, bangsa Indonesia telah mempunyai perhatian besar terhadap terciptanya masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana termuat dalam alinea keempat Undang-Undang Dasar 1945. Program-program pembangunan yang dilaksanakan selama ini juga selalu memberikan perhatian besar terhadap upaya pengentasan kemiskinan karena pada dasarnya pembangunan yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Meskipun demikian, masalah kemiskinan sampai saat ini terus-menerus menjadi masalah yang berkepanjangan.
Pada umumnya, partai-partai peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2004 juga mencantumkan program pengentasan kemiskinan sebagai program utama dalam platform mereka. Pada masa Orde Baru, walaupun mengalami pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, yaitu rata-rata sebesar 7,5 persen selama tahun 1970-1996, penduduk miskin di Indonesia tetap tinggi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin di Indonesia tahun 1996 masih sangat tinggi, yaitu sebesar 17,5 persen atau 34,5 juta orang. Hal ini bertolak belakang dengan pandangan banyak ekonom yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan pada akhirnya mengurangi penduduk miskin.
Perhatian pemerintah terhadap pengentasan kemiskinan pada pemerintahan reformasi terlihat lebih besar lagi setelah terjadinya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997. Meskipun demikian, berdasarkan penghitungan BPS, persentase penduduk miskin di Indonesia sampai tahun 2003 masih tetap tinggi, sebesar 17,4 persen, dengan jumlah penduduk yang lebih besar, yaitu 37,4 juta orang.
Bahkan, berdasarkan angka Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada tahun 2001, persentase keluarga miskin (keluarga prasejahtera dan sejahtera I) pada 2001 mencapai 52,07 persen, atau lebih dari separuh jumlah keluarga di Indonesia. Angka- angka ini mengindikasikan bahwa program-program penanggulangan kemiskinan selama ini belum berhasil mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia.
Penyebab kegagalan
Pada dasarnya ada dua faktor penting yang dapat menyebabkan kegagalan program penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Pertama, program- program penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin.Hal itu, antara lain, berupa beras untuk rakyat miskin dan program jaring pengaman sosial (JPS) untuk orang miskin. Upaya seperti ini akan sulit menyelesaikan persoalan kemiskinan yang ada karena sifat bantuan tidaklah untuk pemberdayaan, bahkan dapat menimbulkan ketergantungan.
Program-program bantuan yang berorientasi pada kedermawanan pemerintah ini justru dapat memperburuk moral dan perilaku masyarakat miskin. Program bantuan untuk orang miskin seharusnya lebih difokuskan untuk menumbuhkan budaya ekonomi produktif dan mampu membebaskan ketergantungan penduduk yang bersifat permanen. Di lain pihak, program-program bantuan sosial ini juga dapat menimbulkan korupsi dalam penyalurannya.
Alangkah lebih baik apabila dana-dana bantuan tersebut langsung digunakan untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), seperti dibebaskannya biaya sekolah, seperti sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP), serta dibebaskannya biaya- biaya pengobatan di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas).
Faktor kedua yang dapat mengakibatkan gagalnya program penanggulangan kemiskinan adalah kurangnya pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan itu sendiri sehingga program-program pembangunan yang ada tidak didasarkan pada isu-isu kemiskinan, yang penyebabnya berbeda-beda secara lokal.
Sebagaimana diketahui, data dan informasi yang digunakan untuk program-program penanggulangan kemiskinan selama ini adalah data makro hasil Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) oleh BPS dan data mikro hasil pendaftaran keluarga prasejahtera dan sejahtera I oleh BKKBN.
Kedua data ini pada dasarnya ditujukan untuk kepentingan perencanaan nasional yang sentralistik, dengan asumsi yang menekankan pada keseragaman dan fokus pada indikator dampak. Pada kenyataannya, data dan informasi seperti ini tidak akan dapat mencerminkan tingkat keragaman dan kompleksitas yang ada di Indonesia sebagai negara besar yang mencakup banyak wilayah yang sangat berbeda, baik dari segi ekologi, organisasi sosial, sifat budaya, maupun bentuk ekonomi yang berlaku secara lokal.
Bisa saja terjadi bahwa angka-angka kemiskinan tersebut tidak realistis untuk kepentingan lokal, dan bahkan bisa membingungkan pemimpin lokal (pemerintah kabupaten/kota). Sebagai contoh adalah kasus yang terjadi di Kabupaten Sumba Timur. Pemerintah Kabupaten Sumba Timur merasa kesulitan dalam menyalurkan beras untuk orang miskin karena adanya dua angka kemiskinan yang sangat berbeda antara BPS dan BKKBN pada waktu itu.
Di satu pihak angka kemiskinan Sumba Timur yang dihasilkan BPS pada tahun 1999 adalah 27 persen, sementara angka kemiskinan (keluarga prasejahtera dan sejahtera I) yang dihasilkan BKKBN pada tahun yang sama mencapai 84 persen. Kedua angka ini cukup menyulitkan pemerintah dalam menyalurkan bantuan-bantuan karena data yang digunakan untuk target sasaran rumah tangga adalah data BKKBN, sementara alokasi bantuan didasarkan pada angka BPS.
Secara konseptual, data makro yang dihitung BPS selama ini dengan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach) pada dasarnya (walaupun belum sempurna) dapat digunakan untuk memantau perkembangan serta perbandingan penduduk miskin antardaerah. Namun, data makro tersebut mempunyai keterbatasan karena hanya bersifat indikator dampak yang dapat digunakan untuk target sasaran geografis, tetapi tidak dapat digunakan untuk target sasaran individu rumah tangga atau keluarga miskin. Untuk target sasaran rumah tangga miskin, diperlukan data mikro yang dapat menjelaskan penyebab kemiskinan secara lokal, bukan secara agregat seperti melalui model-model ekonometrik.
Untuk data mikro, beberapa lembaga pemerintah telah berusaha mengumpulkan data keluarga atau rumah tangga miskin secara lengkap, antara lain data keluarga prasejahtera dan sejahtera I oleh BKKBN dan data rumah tangga miskin oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Meski demikian, indikator- indikator yang dihasilkan masih terbatas pada identifikasi rumah tangga. Di samping itu, indikator-indikator tersebut selain tidak bisa menjelaskan penyebab kemiskinan, juga masih bersifat sentralistik dan seragam-tidak dikembangkan dari kondisi akar rumput dan belum tentu mewakili keutuhan sistem sosial yang spesifik-lokal.
Strategi ke depan
Berkaitan dengan penerapan otonomi daerah sejak tahun 2001, data dan informasi kemiskinan yang ada sekarang perlu dicermati lebih lanjut, terutama terhadap manfaatnya untuk perencanaan lokal.
Strategi untuk mengatasi krisis kemiskinan tidak dapat lagi dilihat dari satu dimensi saja (pendekatan ekonomi), tetapi memerlukan diagnosa yang lengkap dan menyeluruh (sistemik) terhadap semua aspek yang menyebabkan kemiskinan secara lokal.
Data dan informasi kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran sangat diperlukan untuk memastikan keberhasilan pelaksanaan serta pencapaian tujuan atau sasaran dari kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan, baik di tingkat nasional, tingkat kabupaten/kota, maupun di tingkat komunitas.
Masalah utama yang muncul sehubungan dengan data mikro sekarang ini adalah, selain data tersebut belum tentu relevan untuk kondisi daerah atau komunitas, data tersebut juga hanya dapat digunakan sebagai indikator dampak dan belum mencakup indikator-indikator yang dapat menjelaskan akar penyebab kemiskinan di suatu daerah atau komunitas.
Dalam proses pengambilan keputusan diperlukan adanya indikator-indikator yang realistis yang dapat diterjemahkan ke dalam berbagai kebijakan dan program yang perlu dilaksanakan untuk penanggulangan kemiskinan. Indikator tersebut harus sensitif terhadap fenomena-fenomena kemiskinan atau kesejahteraan individu, keluarga, unit-unit sosial yang lebih besar, dan wilayah.
Kajian secara ilmiah terhadap berbagai fenomena yang berkaitan dengan kemiskinan, seperti faktor penyebab proses terjadinya kemiskinan atau pemiskinan dan indikator-indikator dalam pemahaman gejala kemiskinan serta akibat-akibat dari kemiskinan itu sendiri, perlu dilakukan. Oleh karena itu, pemerintah kabupaten/kota dengan dibantu para peneliti perlu mengembangkan sendiri sistem pemantauan kemiskinan di daerahnya, khususnya dalam era otonomi daerah sekarang. Para peneliti tersebut tidak hanya dibatasi pada disiplin ilmu ekonomi, tetapi juga disiplin ilmu sosiologi, ilmu antropologi, dan lainnya.
Belum memadai
Ukuran-ukuran kemiskinan yang dirancang di pusat belum sepenuhnya memadai dalam upaya pengentasan kemiskinan secara operasional di daerah. Sebaliknya, informasi-informasi yang dihasilkan dari pusat tersebut dapat menjadikan kebijakan salah arah karena data tersebut tidak dapat mengidentifikasikan kemiskinan sebenarnya yang terjadi di tingkat daerah yang lebih kecil. Oleh karena itu, di samping data kemiskinan makro yang diperlukan dalam sistem statistik nasional, perlu juga diperoleh data kemiskinan (mikro) yang spesifik daerah. Namun, sistem statistik yang dikumpulkan secara lokal tersebut perlu diintegrasikan dengan sistem statistik nasional sehingga keterbandingan antarwilayah, khususnya keterbandingan antarkabupaten dan provinsi dapat tetap terjaga.
Dalam membangun suatu sistem pengelolaan informasi yang berguna untuk kebijakan pembangunan kesejahteraan daerah, perlu adanya komitmen dari pemerintah daerah dalam penyediaan dana secara berkelanjutan. Dengan adanya dana daerah untuk pengelolaan data dan informasi kemiskinan, pemerintah daerah diharapkan dapat mengurangi pemborosan dana dalam pembangunan sebagai akibat dari kebijakan yang salah arah, dan sebaliknya membantu mempercepat proses pembangunan melalui kebijakan dan program yang lebih tepat dalam pembangunan.
Keuntungan yang diperoleh dari ketersediaan data dan informasi statistik tersebut bahkan bisa jauh lebih besar dari biaya yang diperlukan untuk kegiatan-kegiatan pengumpulan data tersebut. Selain itu, perlu adanya koordinasi dan kerja sama antara pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder), baik lokal maupun nasional atau internasional, agar penyaluran dana dan bantuan yang diberikan ke masyarakat miskin tepat sasaran dan tidak tumpang tindih.
Ketersediaan informasi tidak selalu akan membantu dalam pengambilan keputusan apabila pengambil keputusan tersebut kurang memahami makna atau arti dari informasi itu. Hal ini dapat disebabkan oleh kurangnya kemampuan teknis dari pemimpin daerah dalam hal penggunaan informasi untuk manajemen.
Sebagai wujud dari pemanfaatan informasi untuk proses pengambilan keputusan dalam kaitannya dengan pembangunan di daerah, diusulkan agar dilakukan pemberdayaan pemerintah daerah, instansi terkait, perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam pemanfaatan informasi untuk kebijakan program.
Kegiatan ini dimaksudkan agar para pengambil keputusan, baik pemerintah daerah, dinas-dinas pemerintahan terkait, perguruan tinggi, dan para LSM, dapat menggali informasi yang tepat serta menggunakannya secara tepat untuk membuat kebijakan dan melaksanakan program pembangunan yang sesuai.
Pemerintah daerah perlu membangun sistem pengelolaan informasi yang menghasilkan segala bentuk informasi untuk keperluan pembuatan kebijakan dan pelaksanaan program pembangunan yang sesuai. Perlu pembentukan tim teknis yang dapat menyarankan dan melihat pengembangan sistem pengelolaan informasi yang spesifik daerah. Pembentukan tim teknis ini diharapkan mencakup pemerintah daerah dan instansi terkait, pihak perguruan tinggi, dan peneliti lokal maupun nasional, agar secara kontinu dapat dikembangkan sistem pengelolaan informasi yang spesifik daerah.
Berkaitan dengan hal tersebut, perlu disadari bahwa walaupun kebutuhan sistem pengumpulan data yang didesain, diadministrasikan, dianalisis, dan didanai pusat masih penting dan perlu dipertahankan, sudah saatnya dikembangkan pula mekanisme pengumpulan data untuk kebutuhan komunitas dan kabupaten.
Mekanisme pengumpulan data ini harus berbiaya rendah, berkelanjutan, dapat dipercaya, dan mampu secara cepat merefleksikan keberagaman pola pertumbuhan ekonomi dan pergerakan sosial budaya di antara komunitas pedesaan dan kota, serta kompromi ekologi yang meningkat.

Hamonangan Ritonga Kepala Subdit pada Direktorat Analisis Statistik, Badan Pusat Statistik
Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0402/10/ekonomi/847162.htm

Masalah tenaga kerja internasional (TKI) Indonesia di Malaysia

Masalah tenaga kerja internasional (TKI) Indonesia di Malaysia merupakan masalah yang sangat kompleks, dengan banyak segi kepentingan yang berbenturan. Kalau disoroti dari segi satu saja, misalnya kepentingan Indonesia, maka tidak akan tercapai penyelesaian yang efektip. Segi kepentingan Malaysia juga harus diperhitungkan. Ditinjau dari analisa ekonomi maka bisa dilihat dua pasar tenaga kerja. Yang terbesar mencakup TKI Indonesia yang masuk Malaysia secara legal. Mengenai jumlahnya tidak ada angka yang tepat. Mungkin sekitar 1,5 juta orang. Pada umumnya di pasar ini tidak persoalan yang sengit. Pasar kedua adalah pasar TKI Indonesia yang “ilegal”. Jumlahnya tentu tidak ada kepastian, tetapi angka 600-800.000 sering disebut. Masalah yang mecuat (deportasi, perlakuan tidak manusiawi, eksploatasi, dsb-nya) ada di pasar ini.

Pasar TKI ilegal ini cukup besar dan pasti ada permintaan (dari majikan Malaysia) dan penawaran (penduduk Indonesia yang miskin dan yang putus asa mencari pekerjaan di dalam negeri) yang mendukungnya. Menurut undang-undang di Malaysia majikan melanggar hukum kalau mempekerjakan TKI illegal, akan tetapi ancaman hukuman tidak diberlakukan secara tegas. Mengapa lalu Pemerintah Malaysia setiap tahun merazia dan mendeportasikan TKI Indonesia ini?
Jalan yang mudah sebetulnya melegalisasi kedudukan mereka di tempat kerja di Malaysia. Rupanya Pemerintah Malaysia secara politis dalam negeri tidak dapat menempuh jalan ini. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga tidak dapat memperoleh konsesi demikian, dan kita harus menerima realita ini. Akan tetapi, kedua Pemerintah setuju untuk membangun satu pasar saja dan kedua pemerintah berjanji akan menangkal terjadinya pasar gelap. Tetapi, implementasinya masih bisa diragukan. Selama Pemerintah Malaysia tidak bisa atau tidak mau bertindak keras terhadap majikan Malaysia yang mempekerjakan TKI Indonesia ilegal, maka pasti pasar gelap akan berjalan terus. Kemampuan Pemerintah Indonesia untuk membendung dan memagari penyelundupan TKI ini di tapal batas juga diragukan.

Pemerintah Indonesia (dan Malaysia) sampai sekarang juga memandang pasar tenaga kerja TKI ini sebagai pasar biasa, seperti pasar barang yang bebas. Maka tumbuh suatu “industri” terdiri dari para calo, recruiters, dsb-nya, yang beroperasi secara bebas di Indonesia tanpa pengawasan banyak. Sebetulnya, Pemerintah RI harus memandang pasar TKI ini sebagai pasar yang sangat penting (meliputi jutaan TKI yang membawa pulang devisa ratusan juta dolar setahun) sehingga diperlengkapi dengan undang-undang serta kelembagaan, termasuk dukungan APBN, yang memadai. TKI bukan barang biasa dan perlu dilindungi. Seperti di Filipina. Filipina adalah negara yang lebih kecil daripada Indonesia akan tetapi jumlah TKInya sampai 7,5 juta, 8% dari jumlah penduduk, menghasilkan sekitar US$ 8 milyar remittances setahun. Maka Pemerintah Indonesia harus membangun infrastruktur yang memadai. Aparatur Depnaker harus sangat diperkuat dan anggaran belanjanya ditambah. Kita harus belajar dari Filpina.

Semuanya ini memerlukan waktu. Maka jangan harapkan masalah TKI ilegal ini bisa diselesaikan tahun ini atau yang akan datang. TKI Indonesia yang illegal ini juga tidak punya ketrampilan, akan tetapi bisa dipekerjakan di perkebunan dan sektor bangunan. Untuk melarang TKI yang unskilled ini juga tidak manusiawi karena di dalam negeri tidak ada alternatip.

Maka dalam jangka waktu satu-dua tahun Pemerintah RI hanya bisa melakukan tindakan tambal sulam. Misalnya, menyusun infrastruktur satu atap di sejumlah lokasi dekat tapal batas dengan Malaysia yang bisa memberikan TKI ilegal yang diusir itu dokumen-dokumen yang diperlukan untuk bisa kembali ke Malaysia. Tetapi ini memerlukan suatu infrastruktur di Malaysia untuk membantu mengurus perjanjian kerja dengan majikan.

Semuanya ini memerlukan usaha serta penetapan urgensi pemerintah yang serius dan efektip. Modal pangkalnya sudah ada, yakni perhatian dan intervensi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri. Baru sekarang ada kepala negara Indonesia yang memberikan perhatian besar dan sense of urgency kepada penyelesaian masalah ini.

Selama perioda pemerintahan Presiden SBY maka masalah TKI Indonesia hanya akan menjadi lebih besar karena ekonomi nasional belum dapat menyerap semua pengangguran baru dan lama. Setiap tahun angkatan kerja tambah dengan sekitar 2 juta dan kalau tiga perempat bisa dihisap oleh pasar tenaga kerja dalam negeri maka sudah bagus sekali. Seluruh TKI Indonesia sekitar 2-3 juta. Bandingkan dengan 7,5 juta di Filipina. Maka potensi ekspansi lapangan kerja ini masih ada bagi Indonesia. Asal semuanya dipersiapkan lebih efektip. Kalau pun ini memerlukan perhatian besar dari pemerintah dan anggaran belanja, maka semuanya masih cost-effective.




                                                  www.i-berita.com

NASIONAL - HUKUM

Gayus Bisa Seret 10 Pejabat Pajak

JAKARTA-Peran Gayus Tambunan dalam membongkar mafia perpajakan sangat penting. Meski dikecam sebagai pegawai yang memalukan instansinya, Gayus punya peluang untuk membersihkan aparat perpajakan. Karena itu Satuan Tugas Anti Mafia Hukum mengaku siap melindungi keselamatannya.
   
Kalau Gayus mendengar saya, menyerah saja. Kami pastikan keselamatannya. "Nanti kita berkoordinasi dengan Polri dan Lembaga Perlindungan Saksi," ujar anggota Satgas Mas Achmad Santosa usai diskusi di Jakarta kemarin (27/03). Pria yang akrab dipanggil Ota itu mengaku Satgas sempat kecolongan karena Gayus pergi ke Singapura Rabu (24/03)malam hari setelah paginya sempat bertemu untuk mebicarakan kasusnya.
   
Satgas tidak berupaya menahan atau mencegah Gayus pergi karena statusnya saat itu masih menjadi orang bebas. Gayus baru ditetapkan sebagai tersangka Kamis (25/03) petang oleh Mabes Polri. Menurut Ota, dari mulut Gayus bisa diketahui siapa saja dan modus apa saja yang dilakukan oleh oknum-oknum di Dirjen Pajak.
   
Ota ingat benar saat Gayus mengakui cara yang dilakukannya sebagai sesuatu yang lazim dilakukan oleh teman-teman dan atasannya."Gayus bilang modus yang saya lakukan itu biasa. Dan masih banyak orang-orang yang lainnya disini," kata Ota.
    
Pengakuan itu disampaikan Gayus Tambunan pada pertemuan hari Rabu sebelum terbang ke Singapura. Mereka yang melakukan modus sejenis di Kantor Pajak itu lebih dari satu orang. 
"Diantaranya kurang lebih ada 10 orang,"kata mantan anggota KPK itu.
    
Pengakuan lain Gayus juga cukup krusial. Yakni, pegawai Pajak yang golongannya lebih tinggi, maka pendapatan dari 'makelar pajaknya' juga akan lebih besar. "Kalau golongannya semakin tinggi, tentunya kasus pajak yang dimakelarkan upahnya akan lebih tinggi,"kata Ota.
    
Gayus juga mengaku, dia menjadi makelar kasus di perusahaan wajib pajak yang masih dalam ukuran kecil. Untuk perusahaan yang lebih besar, itu ditangani gologan yang lebih tinggi.
"Karena itu, kemarin kita sudah ketemu Dirjen Pajak untuk bicara soal ini. Berarti ada yang salah di sistem," katanya.
    
Saat ini, pengadilan pajak termasuk vonis-vonis banding wajib pajak tidak bisa dipantau oleh Mahkamah Agung. Hal itu menjadi rawan penyelewengan wewenang. Setelah kita berkoodinasi dengan Mahkamah Agung, ternyata MA hanya mengawasi empat pengadilan, katanya.
    
Empat pengadilan yang dimaksud yakni, Pengadilan Negeri, Agama, Militer, dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Tidak ada pengadilan pajak. Sementara, hakim-hakim di pengadilan pajak itu bukan hakim karir dari MA, tapi pensiunan pegawai pajak sendiri," tegasnya.
    
Satgas akan berkoodinasi masalah ini dengan MA, Departemen Keuangan, dan Komisi Yudisial. "Ini untuk mengawasi pengadilan pajak yang menjadi entry point untuk makelar pajak," ujar Ota.
    
Secara terpisah, mantan anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Adnan Buyung Nasution meragukan Gayus lari ke luar negeri dengan inisiatif sendiri. Guru besar ilmu hukum ini menduga Gayus sengaja disembunyikan pihak tertentu agar tidak membuka mulut. Ia juga tidak percaya sepenuhnya masalah kasus pajak Rp 25 milliar ini hanya Gayus yang menjadi sumber masalah." Gayus dan Andi Kosasih ini sengaja mungkin untuk dijadikan kambing hitam. Supaya jaringan mereka ditutup rapi,"ujar Buyung. Larinya Gayus membuat kasus menjadi mengambang. Hal itu menguntungkan kelompok tertentu.
    
"Masih ingat  Yulianto (kasus Anggodo) yang entah siapa dan dimana keberadaaannya kita tidak  tahu. Modusnya sekarang masyarakat menyalahkan Gayus ini hanya menambah misteri,"katanya.
    
Advokat senior ini yakin  ada oknum polisi dan kejaksaan yang bermain dalam kasus ini seperti yang dituduhkan Susno. "Semua harus diperiksa ulang dari level paling bawah sampai atasannya,"katanya.
    
Di Mabes Polri , Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Komjen Ito Sumardi meminta Gayus segera datang menyerahkan diri. "Kami minta iktikad baik yang bersangkutan jika memang tak merasa bersalah," kata Ito.
    
Sebaliknya, jika Gayus tak kooperatif, Bareskrim akan menempuh segala cara untuk menangkap pegawai pajak bergolongan III A itu. Meskipun berada di luar negeri, penyidik Bareskrim bisa membawa Gayus pulang dengan berkoordinasi dengan Interpol. "Kami sudah kontak Interpol dan mereka siap membantu," katanya.
    
Saat ini, tim independen bentukan Kapolri masih bekerja. Menurut Ito, tim itu juga melibatkan anggota Komisi Kepolisian Nasional dan para hukum yang independen. "Masyarakat silahkan mengawasi," kata mantan Kapolwiltabes Surabaya itu.      
   
Tadi malam, status partner Gayus yakni Andi Kosasih resmi menjadi tersangka dan ditahan. Dia dijerat pasal 21, 22, dan 28 Undang-undang No 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi serta UU 15 tahun 2002 tentang Pencucian Uang."Sudah ditahan di Mabes Polri sejak jam 18.00 tadi," ucap Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Irjen Edward Aritonang melalui pesan singkat.
    
Edward menambahkan, selain jeratan pasal di atas, kepolisian juga menjerat Andi dengan pasal 456 KUHP jo pasal 266 KUHP. "Andi masih akan diperiksa oleh tim sampai selesai," katanya. Anggota Komisi Kepolisian Nasional Adnan Pandupraja kemarin diundang Bareskrim untuk melihat langsung pemeriksaan Andi Kosasih.
     
Menurut dia, pemeriksaan terhadap Andi telah sesuai prosedur. Pandu menjelaskan, Andi diperiksa oleh Direktur Direktorat III Tindak Pidana Korupsi Bareksrim Polri, Brigjen Yoviannes Mahar serta Kepala Polda Kalimantan Timur, Irjen Matius Salempang. "Ada jenderal bintang dua (Matius) ikut memeriksa. Polri cukup serius (memeriksa),"ujar Pandu usai memantau pemeriksaan di Mabes Polri.
    
Matius Salempang dikenal sebagai penyidik handal Bareskrim. Saat Bambang Hendarso Danuri masih menjabat sebagai Kabareskrim, Matius ditugaskan menyidik kasus pembunuhan aktivis HAM Munir. Dari hasil penyidikan Matius lah nama Polycarpus muncul dan skenario pembunuhan Munir mulai terkuak.
    
Sedangkan Yovianes Mahar adalah penyidik kasus Bibit Chandra yang akhirnya dihentikan penuntutannya oleh kejaksaan Agung. Yovianes disebut Susno Duadji sebagai orang dengan sandi Truno 3 di Bareskrim.
    
Menurut Pandu,  tim pemeriksa membutuhkan waktu lama untuk menyelsaikan kasus ini. Diperkirakan pengusutan perkara dugaan adanya praktik mafia kasus yang melibatkan Andi serta Gayus Tambunan akan memakan waktu sekitar satu bulan "Karena menurut durasi waktu ini akan berlangsung sekitar satu bulanan, kita akan tetap mengawasi," katanya.
    
Secara terpisah, penasihat hukum Kapolri Dr Kastorius Sinaga menjelaskan penyidik Mabes Polri saat ini sedang mendalami aliran dana Gayus yang ditarik tunai dari rekeningnya setelah blokir dibuka.
"Ini sedang dicari kemana dan pada siapa uang itu digunakan. Apakah untuk pribadi atau untuk orang-orang lain yang berkepentingan,"katanya.
    
Berdasarkan penyelidikan Polri, kata Kastorius, yang juga Guru Besar Universitas Indonesia, Gayus tiga kali menarik uang dari rekeningnya dalam waktu berbeda. Perinciannya, penarikan pada tanggal 4 Desember 2009 sebesar Rp 4.724.500.000, 30 Desember 2009 sebesar Rp 1 miliar, dan 12 Januari 2010 sebesar Rp 490 juta. "Institusi Polri sangat serius mengusut ini semua.
Bila nanti terbukti ada anggota Polri yang menerima aliran dana ini, akan ditindak tegas Kapolri. Polri sangat serius melakukan perbaikan institusi dan bersih-bersih lewat kasus ini,"katanya.(rdl/aga)


                                                                                        www.jpnn.com

Perdebatan Masalah Korupsi


Beberapa waktu yang lalu, dua profesor hukum yang terkemuka, Andi Hamzah dan Romli Atmasasmita beradu argumen mengenai tindak pidana korupsi. Satu mengatakan bahwa korupsi adalah kejahatan biasa, sementara yang satunya lagi mengatakan sebagai kejahatan luar biasa. Semua profesor tersebut adalah benar, secara delik, korupsi memang adalah kejahatan biasa.

Sementara itu, dilihat dari akibatnya, korupsi telah menimbulkan kerugian yang luar biasa, terutama perekonomian negara dan kesejahteraan rakyat. Tetapi, apakah perdebatan itu penting dalam upaya pemberantasan korupsi? Tentu saja jawabannya bisa dua-duanya. Menjadi penting ketika hasil perdebatan tersebut dapat menjadikan pemberantasan korupsi lebih efektif. Di sisi lain, ia menjadi sangat tidak penting ketika tidak memberikan solusi apa-apa tentang permasalahan penanganan korupsi.

Memang, penanganan korupsi di Indonesia selama ini telah menjadikan hukum pidana sebagai senjata utama. Sehingga perumusan korupsi sebagai tindak pidana menjadi penting. Begitu pula dengan perangkat-perangkat dan prosedur penegakannya. Tetapi kenyataannya, mekanisme hukum pidana ini telah mempunyai masalahnya sendiri. Baik itu dari rumusan deliknya, maupun penegakannya.

Rumusan korupsi yang ada sekarang ini dapat dikatakan kurang layak untuk disebut sebagai rumusan tindak pidana. Pertama, rumusannya dapat menjangkau ke mana-mana sehingga perbuatan apa pun yang diangggap 'dapat merugikan' keuangan atau perekonomian negara bisa dijerat dengan rumusan korupsi (Lihat: Pasal 2 ayat 1 UU No.31/1999). Selain itu, unsur kerugian keuangan/perekonomian negara sangat tergantung pada interpretasi aparat penegak hukum, dengan demikian sangat subyektif. Rumusan semacam ini bertentangan dengan prinsip yang terkandung dalam asas legalitas, terutama lex certa dan lex scripta.

Meskipun rumusan tersebut belum memadai, tetapi seperti kata pepatah "hukum yang baik akan menjadi buruk jika berada di tangan aparat yang buruk, sebaliknya hukum yang buruk akan menjadi baik jika di tangan orang yang baik". Jadi sebenarnya, kekurangan rumusan korupsi dapat diabaikan jika penanganan korupsi berada di tangan yang baik. Permasalahan penanganan korupsi bukan pada rumusannya, tetapi oleh siapa  dan dilakukan dengan cara bagaimana. Seperti ungkapan, "Sapu yang kotor tidak dapat dipakai untuk membersihkan".

Selama ini, pemberantasan korupsi mengandalkan hukum sebagai panglimanya, terutama hukum pidana. Mengandalkan hukum berarti penyelesaiannya bermuara pada pengadilan. Tetapi, kenyataannya pengadilan masih belum bisa menjadi lembaga yang dapat dipercaya. Ia masih ditempatkan sebagai lembaga yang terus dicurigai sebagai tempat berlangsungnya korupsi dalam wujud lainnya, yaitu: mafia peradilan. Penyelesaian korupsi tetap dipaksakan melalui satu-satunya jalur yang tersedia, yaitu: pengadilan, meskipun diketahui betapa bobroknya lembaga tersebut, baik dari proses pemeriksaan awal sampai pemeriksaan di dalam pengadilan.

Permasalahan penanganan korupsi selama ini sebenarnya terletak pada manajemennya. Dengan kata lain, selama ini belum ada manajemen penangan korupsi yang baik. Cerminan tidak adanya manajemen yang baik terlihat nyata ketika penanganan korupsi diserahkan sepenuhnya pada KPK - yang minim sumber daya - meskipun pemberantasan telah menjadi agenda utama pemerintah. Pemerintah tampak lepas tangan dengan kinerja-kinerja KPK dan agenda-agenda pemberantasan korupsi.

Pengadilan - sebagai muara penyelesaian kasus - dibiarkan tetap bobrok tanpa perbaikan yang memadai. Padahal, dalam situasi membangun tegaknya rule of law, seharusnya pengadilan benar-benar dijadikan lembaga yang imun terhadap praktik-praktik korupsi, putusan pengadilan yang layak itulah sebagai salah satu cerminan tegaknya demokrasi, dalam artian tegaknya rule of law. Tapi kenyataannya, sampai hari ini cita-cita menciptakan pengadilan yang bersih masih jauh panggang dari api. Di sisi lain, Mahkamah Agung sibuk membangun bentengnya sendiri, seolah tutup mata terhadap situasi yang terjadi.

Sebaliknya, tampak sangat anti terhadap reformasi untuk menciptakan pengadilan
yang bersih.
Kalaupun terjadi reformasi, perbaikan cuma berkutat pada masalah
teknis semata. Sementara itu, watak otoritarianisme warisan orde baru maupun
watak korup masih belum tersentuh.

Dengan demikian, seharusnya perdebatan mengenai pemberantasan korupsi bukan sebatas mengenai perumusan deliknya, apakah dijadikan kejahatan biasa atau kejahatan luar biasa. Tetapi diarahkan juga pada bagaimana manajemen pemberantasan korupsi. Baik itu siapa yang menanganinya, dengan cara apa ditangani, bagaimana mengelolanya, mengendalikan, mengembangkan penanganan dan prosedur penyelesaiannya, serta bagaimana mencapai tujuan penanganan korupsi itu.

Termasuk di situ bagaimana menciptakan pengadilan yang bersih jika hukum tetap dijadikan sebagai panglima pemberantasan korupsi. Sebaik apapun rumusan delik korupsi, jika tidak ada manajemen penanganan korupsi yang baik, maka selama itu pula korupsi tetap tak akan tertangani.




                                                                             
                                                                              Oleh: FAJRIMEI A. GOFAR

Minggu, 26 Desember 2010

Bencana Alam Lumpur Lapindo


 

 “Penetapan semburan lumpur Lapindo di Kabupaten Sidoarjo sebagai bencana oleh Tim Pengawas Penanggulangan Lumpur Sidoarjo DPR akan berimplikasi luas, antara lain pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggungjawab dalam penanggulangan bencana, termasuk soal biaya”
Biasanya yang namanya bencana alam seperti banjir, tanah longsor, gempa bumi, tsunami, angin puting beliung, atau yang sebangsa itu adalah Disaster yang natural. Disaster yang terjadinya karena faktor God will (skenarionya Sang Penguasa Alam). Kalau bencana itu terjadi karena faktor keteledoran manusia, apa iya disebut bencana alam?
“Enak sekali jadi pengusaha Lapindo”, demikian komentar seorang teman. Setelah proyek  pengeboran PT Lapindo Brantas Inc. itu menimbulkan bencana karena keteledoran pengusahanya, lalu berlindung di balik TP2LS DPR. Itu artinya, tinggal gelangang colong playu (lari dari tanggung jawab). Tinggal pemerintah yang mengurusi gelangang-nya. Lha, pemerintah ini kok ya mau-maunya ditinggali gelanggang…. Opo pemerintah wis sugih? (apa pemerintah sudah kaya?).
Sejatinya memang bukan persoalan kaya atau belum kaya, punya uang atau belum punya uang, dalam menyelesaikan masalah bencana lumpur Lapindo. Melainkan lebih kepada tanggungjawab moral dan professional pihak pengusahanya.
Jelas-jelas bencana lumpur itu terjadi sebagai akibat dari keteledoran atau kecerobohan pihak pengusaha dalam memenuhi SOP (Standart Operating Prosedure) dalam proses pengeboran. Hal ini sudah banyak dikaji oleh para ahli yang kompeten di bidangnya dan dipublikasi di berbagai media. Maka siapapun tahu siapa yang seharusnya paling bertanggungjawab atas akibat yang ditimbulkan oleh kegagalan itu.
Kini, masalah menjadi meluber seperti luberannya lumpur Lapindo di Sidoarjo. Bukan lagi menjadi masalah kegagalan teknis yang ditanggungjawabi secara moral dan professional. Melainkan sudah berubah menjadi masalah kegagalan teknis yang ditanggungjawabi secara politis. Dan, sidang paripurna DPR pun menggelar pembahasan ini. Sementara Wapres Jusuf Kalla menegaskan : “Bencana alam atau bukan, itu bukan masalah politis”.
Politisasi bencana lumpur Lapindo barangkali hanya masalah ketok palu di DPR. Tapi “implikasinya sangat luas dan tidak ringan”, kata ahli hukum tata negara UGM, Denny Indrayana. Sebab, bagaimana menyembuhkan cedera rasa keadilan masyarakat Sidoarjo yang menjadi korban lumpurlah yang sebenarnya paling mendesak diberikan solusi. Bagaimana mempersingkat proses tarik-ulur pemenuhan hak-hak para korban bencana, bukan malah ditarik-tarik terus, enggaaak…. selesai-selesai. Merekalah (mereka masyarakat maksudnya, bukan anggota DPR) yang paling merasakan beban penderitaan akibat bencana Lapindo.
Rasa apatis masyarakat terhadap proyek-proyek padat modal dan padat teknologi seharusnya lebih diutamakan untuk secepatnya diantisipasi. Sebab implikasinya bukan tidak mungkin menumbuhkan rasa tidak percaya masyarakat pada umumnya terhadap proyek-proyek semacam Lapindo, ataupun bentuk-bentuk proyek investasi yang lain. Bagaimana agar kelak masyarakat tidak menjadi trauma dalam menyikapi adanya proyek investasi yang sedang digalakkan pemerintah. Jangan-jangan kalau nanti ada masalah, tidak ada penyelesaian yang adil dan malah merepotkan saja.
Bagaimana melihat multiplier effect dari penanganan bencana semacam lumpur Lapindo ini? Mencoba melihat kembali tentang perlunya studi AMDAL bagi setiap proyek investasi (lihat : Keputusan Kepala BAPEDAL No. 8 Tahun 2000 tentang Keterlibatan Masyarakat dan Keterbukaan Informasi Dalam Proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup), maka sosialisasi kepada masyarakat terhadap proyek yang akan dijalankan adalah salah satu tahap awal yang harus dilakukan.
Apa yang sekarang terjadi ketika tahap sosialisasi itu dijalankan? Masyarakat akan bertanya dengan kritis apa yang akan dilakukan oleh perusahaan atau pengusaha jika terjadi bencana “semacam” lumpur Lapindo. Artinya, efek traumatis masyarakat setiap kali ada proyek investasi di daerahnya nampaknya memang sudah tertanam.
Seorang teman bercerita, kecenderungan masyarakat yang skeptis terhadap adanya proyek investasi nampak dari komentar mereka : “lebih banyak mudharatnya dibanding manfaatnya”. Itu karena cara penanganan korban lumpur Lapindo selalu menjadi referensi kekhawatiran mereka. Dan, memulihkan atau membalikkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap adanya proyek investasi bukanlah pekerjaan mudah. Tidak semudah membelokkan urusan moral dan professionalisme menjadi urusan politis.
Maka sebenarnya dapat dipahami kalau masyarakat Sidoarjo muring-muring (marah) lalu menjadi sensitif kalau sudah bicara tentang upaya memperjuangkan hak-hak mereka. Juga harus dipahami kalau masyarakat di tempat lain menjadi trauma terhadap proyek-proyek investasi yang sedang digalang pemerintah. Bukan saja terhadap proyek yang padat modal dan padat teknologi yang bersentuhan langsung dengan alam, melainkan juga proyek di berbagai sektor industri.
Bagaimana pemerintah menyikapi bencana (dan rentetan dampaknya) lumpur Lapindo dengan bijaksana dengan memperhatikan kepentingan hak-hak masyarakat yang menjadi korban, dan bagaimana membangun tingkat kepercayaan masyarakat terhadap proyek-proyek investasi lainnya, kiranya perlu lebih dikedepankan. Agar masyarakat sebagai stakeholder sebuah proyek investasi tidak sekedar menjadi penonton, atau peminta sumbangan ketika perayaan 17-an.
Perusahaan adalah pihak yang paling berkewajban memposisikan masyarakat sebagai stakeholder, dan paling bertanggungjawab menyelesaikan jika terjadi masalah. Bukannya malah tinggal gelanggang colong playu itu tadi. Tinggal gelanggang-nya diurus pemerintah dan masyarakatnya yang menjadi korban.
Apakah bencana lumpur (pengeboran) Lapindo lalu tetap diklaim sebagai bencana alam? Apakah bencana (keteledoran) manusia akan dituduhkan sebagai bencana (“keteledoran”) alam?


Kompas, 19 Februari 2008